RAJA MAJAPAHIT YANG DISTANAKAN DI PURA BESAKIH BALI
RAJA MAJAPAHIT YANG DISTANAKAN DI PURA BESAKIH BALI
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma
sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali.
Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahu 1995.
FILOSOFI
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat bersemayamnya Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:
Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.
OBJEK PENELITIAN
Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.
Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi. Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.
Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga memengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu Dharma di Bali.
PRATIMA HYANG WISESA/RAJA MAOSPAHIT YANG DISTANAKAN DI PURA BESAKIH,dan lontar Raja purana dalem Majapahit untuk keberadaan dan pemeliharaan Pura Besakih.
PRATIMA
HYANG WISESA/RAJA MAJAPAHIT YANG DISTANAKAN DI PURA BESAKIH,dan lontar
Raja purana dalem Majapahit untuk keberadaan dan pemeliharaan Pura
Besakih.
PURA BESAKIH - BALI
Pura Besakih adalah sebuah komplek pura yang terletak di Desa Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat (Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal inilah pertama kalinya tempat diterimanya wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya, cikal bakal Agama Hindu Dharma
sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali.
Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta, Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahu 1995.
FILOSOFI
Keberadaan fisik bangunan Pura Besakih, tidak sekedar menjadi tempat bersemayamnya Tuhan, menurut kepercayaan Agama Hindu Dharma, yang terbesar di pulau Bali, namun di dalamnya memiliki keterkaitan latar belakang dengan makna Gunung Agung. Sebuah gunung tertinggi di pulau Bali yang dipercaya sebagai pusat Pemerintahan Alam Arwah, Alam Para Dewata, yang menjadi utusan Tuhan untuk wilayah pulau Bali dan sekitar. Sehingga tepatlah kalau di lereng Barat Daya Gunung Agung dibuat bangunan untuk kesucian umat manusia, Pura Besakih yang bermakna filosofis.Makna filosofis yang terkadung di Pura Besakih dalam perkembangannya mengandung unsur-unsur kebudayaan yang meliputi:
- Sistem pengetahuan,
- Peralatan hidup dan teknologi,
- Organisasi sosial kemasyarakatan,
- Mata pencaharian hidup,
- Sistem bahasa,
- Religi dan upacara, dan
- Kesenian.
Ketujuh unsur kebudayaan itu diwujudkan dalam wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Hal ini sudah muncul baik pada masa pra-Hindu maupun masa Hindu yang sudah mengalami perkembangan melalui tahap mitis, tahap ontologi dan tahap fungsional.
OBJEK PENELITIAN
Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.
Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi. Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.
Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga memengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu Dharma di Bali.
PRATIMA HYANG WISESA/RAJA MAOSPAHIT YANG DISTANAKAN DI PURA BESAKIH,dan lontar Raja purana dalem Majapahit untuk keberadaan dan pemeliharaan Pura Besakih.
Ini perihal ketentuan dan kewajiban di pura Besakih(Gunung
Agung) yang tercantum dalam Piagam Raja (Dalem). Anglurah Kebayan di
Besakih dan Sedahan Ler di Selat mempunyai tugas yang sama untuk
memelihara dan menegakkan piagam raja ini. Begini disebutkan,
persembahan raja berupa tanah sawah untuk laba pura. Tanah itu ada di
wilayah desa Tohjiwa terletak di subak Kepasekan, Bugbugan, Lenging
Ogang, Lod Umah, Dauh Kutuh, jumlah semuanya berbibit 12 1/2 tenah,
untuk Batara Ratu Kidul sepertiga, Batara I Dewa Bukit Pangubengan
sepertiga, Batara Dewa Danginkreteg sepertiga, jadi masing-masing pura
mendapat sawah berbibit 3 tenah 2 depuk.
Lagi
sawah untuk laba pura persembahan Dalem ke hadapan Batara di Batumadeg
tanah sawah di desa Tangkup yang terletak di Jejero berbibit 5 tanah.
Lagi
laba pura persembahan Dalem ke hadapan Batara Manik Geni berupa tanah
sawah di Muncan yang terletak di Teba Kulon, Teba Lor, berbibit 4 tenah.
Persembahan Dalem ke hadapan Batara Basukihan, dan Batara Tulus Dewa
berupa tanah sawah di desa Klungah terletak di subak Bukihan berbibit 12
tenah yang juga dipergunakan untuk bebakaran. Untuk pesangon juru arah,
pengusung Sang Hyang Siyem, Batara Rabut Paradah ialah hasil sawah di
desa Macetra di sebelah selatan bukit Santap berbibit tiga setengah
tenah. Ini ketentuan yang pertama.
Warga
keturunan dari Majapahit yang ikut bersama Sri Kepakisan yang datang
dan menjadi raja di Bali ialah keturunan warga Kanuruhan, Arya Kenceng,
Arya Delancang, Arya Belog, Sira Wang Bang. Sesudah itu Arya
Kutawaringin. Pangeran Asak mengembara akhirnya sampai dan tinggal di
Kapal. Di sini diangkat sebagai menantu oleh Arya Pengalasan berputra
laki-laki bernama Pangeran Dauh, Pangeran Nginte dan ada pula yang
wanita. Pangeran Nginte berputra Gusti Agung, Gusti di Ler. Pangeran
Dauh berputra laki-laki dua orang dan wanita, yang diperistri oleh
Pangeran Pande, yang tertua diperistri sepupunya, yang lebih kecil
diperistri oleh Pangeran Dauh yang disebut Pangeran Srantik di
Camanggawon. Keturunan Arya Kanuruhan: Pangeran Pagatepan dan Pangeran
Tangkas.
Pangeran
Pangalasan menurunkan Srantik ini kesatria dari Majapahit bersepupu
dengan keturunan Pangeran Dauh Bale Agung warga Arya Kepakisan menjadi
menteri Dalem Kepakisan yang keturunannya antara lain: Pangeran Batan
Jeruk, Pangeran Nyuh Aya, Pangeran Asak. Keturunan Arya Wang Bang, Sang
Penataran, Tohjiwa, Singarsa termasuk rumpun warga Pengalasan. Keturunan
Arya Kenceng yaitu: Tabanan dan Badung, Keturunan Arya Belog: Buringkit
dan Kaba-kaba. Keturunan Arya Wang Bang: Pring dan Cagahan Keturunan
Arya Kutawaringin: Kubon Tubuh. Tiga orang wesya dari Majapahit yang
bernama Tan Kober, Tan Mundur dan Tan Kawur. Keturunannya ialah Pacung,
Abiansemal dan Cacahan. Pangeran Pande bersaudara dengan Pangeran
Anjarame yang kawin dengan saudara Pangeran Anglurah Kanca. Mempunyai
anak yang kawin dengan Pangeran Jelantik. Pangeran Pande mengambil istri
ke Kapal menurunkan Arya Dauh yang ada sekarang. Dan I Gusti Agung
berputra lima orang pria dan wanita tiga orang antara lain: I Gusti
Kacang Pawos, I Gusti Intaran. I Gusti di Ler berputra sepuluh orang
pria antara lain: I Gusti Penida dan yang wanita kawin ke Kapal (Gelgel)
dengan I Gusti Kubon Tubuh. Ini merupakan mufakat dan ketulusan hati
yang tersebut di atas ngemong pura-pura di Besakih. Semoga berhasil dan
bahagia.
Ini
perihal upaya untuk menenteramkan pulau Bali supaya selamat dan selalu
berpahala. Sepatutnya Nglurah Sidemen mengawasi ketentuan pura-pura
seperti dahulu, tempat bersemayamnya para Dewa dan Batara. Pikiran yang
tenteram dilambangkan dengan Padmasana. Padma Nglayang adalah lambang
dari Gunung Agung, Gunung Batur adalah lambang dari gunung Indrakila. Di
Besakih bagian selatan tempat. bersemayamnya I Dewa Kidul, bangunan
gedong bertembok. Persemayaman Ida I Dewa Manik Mas meru bertingkat satu
bertiang empat. Persemayaman I Dewa Bangun Sakti meru bertingkat satu
bertiang empat. Persemayaman I Dewa Ulun Kulkul meru bertingkat satu
bertiang empat. Persemayaman I Dewa Jero Dalem meru bertingkat satu
bertiang empat dan persemayaman I Dewa Empu Anggending sebuah gedong.
Persemayaman Batara Sri meru bertingkat satu bertiang empat,
persemayaman Batara Basukihan meru bertingkat tujuh. Persemayaman Batara
Pangubengan meru bertingkat sebelas.
Di
Penataran, persemayaman I Dewa Atu sebuah meru bertingkat sebelas.
Persemayaman I Dewa Paninjoan sebuah meru bertingkat sembilan.
Persemayaman I Dewa Mas Mapulilit meru bertingkat sebelas. Ini semua
terletak di Penataran Agung. Lengkap dengan tempat jempana semua pura
terutama sekali bangunan Sanggar Agung. Bale Agung yang terdiri dari
sebelas ruangan, sebuah Kori Agung, di luar pintu gerbang ada dua balai
bertiang delapan dan candiraras mengapit pintu gerbang. Perihal
persemayaman I Dewa Tegal Besung sebuah meru bertingkat sebelas.
Persemayaman I Dewa Samplangan sebuah meru bertingkat sembilan.
Persemayaman I Dewa Enggong sebuah meru bertingkat tujuh. Persemayaman I
Dewa Sagening sebuah meru bertingkat lima. Persemayaman I Dewa Made
sebuah meru bertingkat tiga. Persemayaman I Dewa Pacekan sebuah meru
bertingkat satu berbentuk gedong. Persemayaman Pangeran Tohjiwa sebuah
meru bertingkat tiga. Persemayaman I Dewa Pasek sebuah meru bertingkat
tiga.
Selanjutnya
tentang bale mandapa tempat peristirahatan Dalem didampingi oleh
Nglurah Sidemen. Dalem seyogyanya mengetahui semua bangunan suci yang
ada di pura Batumadeg yang diemong oleh I Dewa Den Bancingah bersama
para Arya dan masyarakat di sebelah barat sungai Telagadwaja supaya
dalam keadaan baik semuanya. ini ketentuan mengenai persemayaman para
Dewa yang diemong oleh Anglurah Sidemen bersama para Arya dan masyarakat
desa di sebelah timur sungai Telagadwaja yaitu: Persemayaman I Dewa
Gelap sebuah meru bertingkat tiga bertembok berdinding. Persemayaman I
Dewa Bukit bersama permaisuri sebuah meru bertingkat satu bertembok.
Persemayaman I Dewa Ratu Magelung meru bertingkat tiga bertembok.
Persemayaman I Dewa Wisesa sebuah meru bertingkat sebelas dan sebuah
candi raras yang merupakan pintu/jalan keluar masuk I Dewa Bukit.
Persemayaman Sang Hyang Dedari sebuah balai bertiang empat yang dibuat
dari kayu cendana.
Persemayaman
I Dewa Tureksa sebuah meru bertingkat tujuh. Persemayaman I Dewa
Maspahit sebuah meru bertingkat sebelas. Persemayaman I Dewa Manik
Makentel sebuah meru bertingkat sebelas, sebuah balai Panggungan beratap
ijuk lengkap dengan kain busana, sebuah balai Manguntur. sebuah balai
Sumangkirang beratap ijuk. Di luar pintu gerbang dua buah balai Ongkara
mengapit pintu. Dan juga dua buah balai Majalila beratap ijuk
berhadap-hadapan. Persemayaman I Dewa Manik Geni sebuah meru bertingkat
sembilan. Persemayaman I Dewa Penataran sebuah meru bertingkat tujuh.
Persemayaman I Dewa Hyangning Made Gunung Agung sebuah meru bertingkat
lima. Persemayaman I Dewa Gusti Hyang sebuah meru bertingkat tiga.
Persemayaman Ida Hyang Antiga sebuah meru bertingkat satu. Persemayaman I
Dewa Hyangning Teges sebuah meru bertingkat satu, semuanya beratap ijuk
dan berdinding. Ini bagian yang diemong oleh Anglurah Sidemen. Semua
bangunan suci yang berada di Penataran Agung juga menjadi tanggungjawab
raja.
Dan
lagi bangunan suci di pura Dangin Kreteg ditetapkan diemong oleh Arya
Karangasem. Demikianlah semua bangunan suci yang tertulis dalam piagam.
Dan untuk selanjutnya tentang upakara dan upacara besar maupun kecil
menjadi tanggungjawab Anglurah Sidemen, juga mengenai kain-busana
usungan para Dewa dan alat-alat perhiasan lainnya dibiayai dengan hasil
tanah di Bebandem, Cacakan, Pajegan, Gantalan. Ini harus diingat /
diperhatikan oleh Anglurah Sidemen, perlengkapan usungan para Dewa
selengkapnya dan kewajiban para pemegang sawah milik raja. Begini
anugerah Batara Maospahit. "Wahai turunanku raja Majapahit yang
kuberikan gelar Ratu Kepakisan yang menjadi raja Bali, turun temurun
harus mentaati dan menghormati piagam ini. Pegang dengan teguh piagam
ini dan sebar luaskan di Bali. Dibantu oleh keturunan para Arya yang
mengiring dan para punggawa yakni: Arya Kanuruhan, Kenceng, Belog.
Delancang. Dan berikutnya warga Wang Bang yang juga turunan Brahmana
yang ikut bersama-sama mengarungi samudra dan warga Kuta Waringin.
Kepada Sira Wang Bang saya tugaskan menuju Gunung Agung (Besakih) supaya
bersama-sama dengan Sang Kul Putih mohon anugerah ke hadapan Dewa
(mengabdikan diri ke hadapan para Dewa) langsung sampai ke puncak Gunung
Agung. Maka mulai sekarang Sira Wang Bang bersama Sang Mangku Gunung
Agung. Sira Wang Bang bertugas menjaga arca Dewa dan piagam Raja yang
turun dari Kahyangan.
Ini
semua hendaknya diemong selama-lamanya, turun temurun. Aku mengatur /
menentukan pemujaan kepada para Dewa dan lanjut upacara pengodalan pada
hari Rabu Wage, wuku Kulawu, upacara pemujaan setiap hari purnama dan
tilem (bulan gelap) Oktober. Nopember. April, Juli. pada saat itulah
raja datang bersembahyang ke Besakih bersama para pendeta dan pasukan.
Aku memberi ijin untuk mengambil hasil bumi, udara, tegalan dan sawah di
desa-desa, hasil pantai, laut dan gunung di sebelah
timur
sungai Telagadwaja. Terutama hasil tegal dan sawah bukti di desa
Muncan. Jumlah uang tujuh belas ribu dan sawah berbibit delapan puluh
lima tenah, sebagai biaya dapur dan isi lumbung agung, Sawah-sawah itu
terletak di Bukih, Pedengdengan Kelod, sampai ke Keben Aras yang bernama
Tinggarata. Pahyasan, Sari, Gunung Sari Lebih, dikenakan bawang putih
2200 biji dan lagi hasil bumi Selat. Ingat barang-barang itu sebagai
pengisi lumbung agung yang terletak di halaman luar pura Besakih tempat
hasil sawah laba itu seharga 1700. Lumbung itu milik raja dan lumbung
pajenengan Batara di Gunung Agung (Besakih). Kalau sudah demikian
stabillah persemayaman Dewa dan kedudukan raja. Kalau lumbung Dewa dan
milik raja rusak maka diwajibkan desa harus memperbaiki lumbung itu dan
mengatapi sampai selesai. Raja memberikan kuasa kepada semua penghulu
desa.
Peringatan
kepada Sedahan Penyarikan: supaya menaikkan padi ke lumbung terutama
hasil sawah Santen Dawa Higa yang dipergunakan untuk biaya upacara di
pura Besakih dan Batara di puncak Gunung Agung. Bahan upakara itu
dibebankan kepada masyarakat desa Sikuhan, Renaasih, Luwih, Suarga
Peleng, masing-masing 500 biji dasun putih beserta uang dan ayam putih
jantan betina, bunga palawa, bunga kasna yang bunganya melekat menjadi
satu dan cemara tiblun. Ini harus dibawa setiap hari Kamis Paing wuku
Wayang dan Minggu Paing Dungulan ke halaman luar pura Besakih
diterimakan kepada Sedahan Dewa. Jangan lalai jangan alpa dan jangan
curang. Ini adalah persembahan raja kepada para Dewa dan Batara yang
bersemayam di puncak Gunung Agung. Batara bersabda, "Hai kamu manusia
taatilah titahku! Piagam ini telah direstui oleh para Dewa Nawasanga.
Jika
tidak mentaati Piagam ini semoga kamu sirna dan menjadi lintah". Ini
Piagam tahun 1007 Masehi (929 Saka). Om Namobhye namah, Om Sri wastha
sattawasar. Raja Majapahit kabarnya dalam keadaan berbaring. Pada waktu
itulah Prasasti yang berupa Piagam ini dikeluarkan. Aku adalah Batara
Indra, aku ini adalah Batara Maospahit dan aku raja Majapahit
bersama-sama bersemayam di pulau Bali. Diceritakan sekarang Dalem
Pakisan yang menurunkan raja Bali. Karena ketulusan hati dan
kebijaksanaan beliau ibarat Sang Hyang Darma menjadi raja yang dapat
mengalahkan raja Bali yang terdahulu. Dan Sira Wang Bang yang
mengabdikan diri kepada Batara di Besakih juga mengemong pura tempat
bersemayamnya Batara Naga Basukih. Demikianlah kewajibannya selama hidup
serta para turunannya mengabdi mempersembahkan air suci. Sira Wang Bang
mengantarkan persembahan raja ke hadapan Batara di Kahyangan tatkala
bersembahyang ke hadapan yang bersemayam di puncak Gunung Agung dan
Batara Pusering Tasik (Tengah samudra) dan lautan madu.
Aku
mengambil hasil bumi dan angkasa, segala jenis hasil pesisir, lautan
dan gunung untuk biaya upacara ke hadapan Batara di Besakih (gunung
Agung). Berkat anugerah Batara masyarakat bersatu mematuhinya akibatnya
bumi pun makmur. Para Arya semua bersatu yaitu: Arya Kanuruhan, Arya
Kenceng, Delancang, Arya Belog, Arya Kuta Waringin. Sabda Batara, "Hai
kamu manusia mayapada, jangan engkau durhaka kepadaku. Jika engkau tidak
memelihara pura-pura di Besakih persemayaman para Dewa masing-masing
dan kalau ada yang rusak tidak kamu perbaiki, tidak bakti, semoga kamu
bertikam-tikaman dengan keluargamu dan semoga engkau binasa, martabatmu
akan surut dan menderita serta jauh dari keselamatan". Sabda Batara
Nawasanga kepada para umat penganut Siwa dan Buda dan para catur wangsa
supaya memelihara dan memperbaiki kerusakan pura di Besakih. Apabila
waktu bersembahyang melihat warna seperti ijuk sekakab (segabung), itu
pertanda turunnya Batara Kidul Bangun Sakti. Ucapkan mantra: Ong, Bang,
I, namah. manifestasi Sang Hyang Antaboga yang bersemayam di samudra.
Kalau
kelihatan seperti air tenang itu pertanda turunnya I Dewa Bukit.
Ucapkan mantra: Ong, Yang, Ung, namah. ltulah manifestasi Batara
Duhuring Akasa / Batara Naga Basukih. Kalau kelihatan ada cahaya seperti
api menyala dan gemerlapan, itu pertanda turunnya Batara Atu. Ucapkan
mantra: Ongkara Siwa namah swaha. Manifestasi Sang Hyang Siwa. Apabila
kelihatan warna putih berkilau-kilauan itu pertanda turunnya I Dewa
Sesa. Ucapkan mantra: Ong, Saswara Indra nama swaha. Manifestasi Sang
Hyang Surya. Tampak cahaya berwarna merah itu pertanda turunnya I Dewa
Rabut Pradah. Ucapkan mentera: Ong, Bang Yudhaya namah swaha.
Manifestasi Batara Brahma. Kelihatan cahaya berwarna kuning seperti emas
wilis itu pertanda turunnya Batara Maospahit. Ucapkan mentera: Ong,
Ong, Tang namah swaha. Manifestasi Batara Wulan.
Kelihatan.
cahaya seperti kaca hitam itu pertanda turunnya Batara Batu Madeg.
Ucapkan mentera: Ong, Ang, Ung. Kresnaya nama swaha. Manifestasi Batara
Wisnu. Kelihatan cahaya seperti perak bertatahkan permata mirah itu
pertanda turunnya Batara Basukihan. Ucapkan mentera: Ong, Mang, Siwaya
namah swaha. Manifestasi Sang Agawe Pita. Kelihatan cahaya seperti mirah
dan intan yang telah digosok itu pertanda turunnya I Dewa Mas Makentel.
Ucapkan mentera: Ong, Mang. Siwaya namah swaha. Manifestasi Batara
Rabut Sedana Sakti. Kelihatan cahaya seperti air embun seperti permata
jamrut itu pertanda turunnya I Dewa Manik Malekah. Ucapkan mentera: Ong,
Sang Bhawantu Sri ya namah. Manifestasi Batara Sri. Kelihatan cahaya
seperti bunga teleng gemerlapan itu pertanda turunnya Batari Pertiwi.
Ucapkan mentera: Ong, Ong, Sri Sundharu ya namah. Manifestasi Batari
Kuwuh/Batari Sundhari. Beliaulah yang menciptakan yang indah-indah dan
benda-benda berharga dan persemayaman beliau tiada taranya.
Kelihatan
cahaya seperti kunang-kunang bertaburan itu pertanda turunnya I Dewa
Geni / I Dewa Gelap. Ucapkan mentera: Ong Sa, Ba, Ta, nama siwaya.
Beliau berwujud baik buruk, bumi dan angkasa. Kelihatan cahaya gelap
gulita itu pertanda turunnya Batara Gangga di sebelah selatan Besakih
menjadi mata air yang dinamakan Sindu Tunggang. Kisah kenyataan.
Kelihatan cahaya gelap gulita turun Batari Gangga di sebelah utara
Besakih: menjadi mata air yang dinamakan Sang Hyang Tirta Sakti Amerta.
Demikianlah kisah semua mata air pada tahun 122 M. Turun Batara Indra
dan membawanya ke Surga. Ini disebut Brahma Tirta terjadi pada tahun 126
Masehi. Turun pada waktu gelap gulita hujan angin kelihatan seperti mas
berpermata intan dan terdengar seperti suara gentaworag para Mpu
mengalun. Ucapkan mentera: Ong, Nang, Ung, Nang, Ung. Turunlah arca mas
bermuka empat, arca perak, tembaga, loyang, besi. Semua bertatahkan
permata mirah.
Turun
pada waktu malam hari disertai topan dan hujan itu pertanda turunnya
Sang Hyang Siyem berwarna putih kehijau-hijauan dan Sang Hyang Rabut
Pradah diiringi dengan tabuh-tabuhan dengdengkuk. Untuk mengingatkan
raja supaya bersembahyang ke Besakih bersama para Arya serta rakyatnya
mempersembahkan upacara. Semua mengiring malasti ke pancuran Pamanca
(Arca) pada paruh bulan terang dengan kurban berupa babi guling 5, suci,
dan lis. Di Pulo Jelepung sawah berbibit dua tenah dan lagi di Kinang
sawah berbibit dua setengah tenah di Balu Agung Jelantik sawah berbibit
empat tenah di Batu Mangecek berbibit empat tenah. Lagi sawah di daerah
Tusan yang terletak di Jati Heling berbibit dua tenah.
Pada
abad XIII berdirilah Dinasti Majapahit dimana terjadi perkawinan
Brahmaraja I dengan putri Kerajaan Miao Li yaitu Yu Lan(Dara
Jingga)putri ke II,juga pendiri Majapahit yakni Prabu Wisnu Wardana
memperistri putri Raja Miao LI yang pertama yaitu Yu Lin(Dara
Petak).Hyang Wisesa/Brahmaraja I Raja Jenggala sebelum diabisheka
bernama “Jayasaba”sedangkan kakaknya sebelum diabhiseka Raja Kadiri
bernama “Jayabaya”.
Kenapa
hanya Brahmaraja I saja yang di buatkan pelinggih di Pura terbesar di
Besakih karena sebagian besar anak-anak beliau sudah pindah ke Bali
yaitu yang dikenal dengan “ Sapta Arya”ditugaskan menjadi Anglurah di
tiap-tiap Kadipaten/kabupaten di Bali membantu Pamannya “Sri Kresna
Kepakisan(Raja Bali)”demi kelancaran pemerintahan Beliau,sedangkan anak
yang paling sulung masih di Jawa meneruskan kerajaan di Jenggala yaitu
Arya Cakradara mengawini Ratu Tri Bwana Tungga Dewi(Raja III).
Sedangkan
kakaknya Raja Kadiri Prabu Wisnu Wardana/Jayabaya yang menurunkan
Raja-Raja di Jawa di buatkan pelinggih berupa Candi Megah di zaman itu
disesuaikan dengan adat tanah Jawa yang mana semua Palinggih Raja
disemayamkan di Candi yang megah(lihat sejarah Nagarakertagama).
Hyang
Wisesa di Jawa bergelar Hyang Indra karena Beliau ahli di bidang perang
yang sering disebut Dewa Perang,Beliaulah yang mahir dalam taktik
Peperangan di zaman itu dan mahir dengan segala senjata sehingga
anak-anaknya mewarisinya sampai keturunannya sekarang.
Yaitu Sri Wilatikta Brahmaraja XI(Abisheka
Raja Majapahit Suryadiningrat)yaitu keturunan dari anak pertama beliau
yang masih tinggal di jawa meneruskan kerajaan di jawa/Puri
Jenggala,Tulung Agung yaitu dari trah ARYA CAKRADARA BERISTRI RATU TRI BWANA TUNGGA DEWI(Raja III).
Adapun
pelinggih semua Kawitan Orang Bali dan Jawa di Pusatkan di Pura
Majapahit Pusat Trowulan di sebelah utara kolam Segaran di sana
terpampang semua soroh/klan dari Hyang Pasupati(Purusha)dan Hyang
Bhatari Gangga(Predhana) menurunkan Raja Jawa-Bali/ Dalem,Ratu
Pasek,Ratu Kepandean,dsb dst,tertulis dengan gamlang dengan Prasasti
berupa lempengan emas.Sehingga Pura Majapahit Pusat Trowulan merupakan
Pura Bibit Kawit/Kawitan Pertama orang Jawa dan Bali yang menyebar
sesuai perkembangan zaman ekspedisi/eksodus untuk mencari daerah baru
yang lebih eksis untuk keturunan selanjutnya.
Yang
mana daerah ini dulunya merupakan bekas Pusat Kerajaan Jawa yang sudah
mendunia sampai ke mancanegara yang sering di sebut Nusantara di zaman
itu.
Daerah kekuasaannya mencakup Thailand,siam,Burma,Malaysia,madagaskar(Nagarakertagama).
Sehingga
Ageman Leluhur kita dari dulu adalah Ageman Siwa Budha/Purusha
Predhana/Pertiwi Akasa/Bumi Langit/Lingga Yoni yang sering disebut
Kawitan kita “Shanghyang Sangkan Paraning Dumadi”sehingga Leluhur kita
dulu bisa mencapai Moksah/Mokswa karena mampu menerapkan Ageman yang
tidak ada duanya di Dunia.
Di
zaman sekarang orang-orang belum bisa menerapkan karena tercemari oleh
pengaruh ageman lain yang sering mengambil jalan singkat bahkan
mengajarkan “pengampunan Dosa”sedangkan yang namanya dosa tetap dosa
,yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah sesuai hukum
karmapala,inilah keunikan Leluhur kita yang sulit diterapkan oleh ageman
lain sehingga mencari jalan pintas langsung menuju jalan tol
alternative langsung menuju Tuhan tanpa melalui tingkatan yang ada yaitu
Leluhur Kawitan sesuai tingkatan-tingkatannya.
Keunikan
Bali yang lain bisa dilihat lewat bagaimana manusia Bali melakukan
pembinaan kekerabatan secara lahir dan batin. Manusia Bali begitu taat
untuk tetap ingat dengan asal muasal darimana dirinya berasal. Hal
inilah kemudian melahirkan berbagai golongan di masyarakatnya yang kini
dikenal dengan wangsa atau soroh. Begitu banyak soroh yang berkembang di
Bali dan mereka memiliki tempat pemujaan keluarga secara tersendiri.
Tatanan
masyarakat berdasarkan soroh ini begitu kuat menyelimuti aktivitas
kehidupan manusia Bali. Mereka tetap mempertahankan untuk melestarikan
silsilah yang mereka miliki. Mereka dengan seksama dan teliti tetap
menyimpan berbagai prasasti yang didalamnya berisi bagaimana silsilah
sebuah keluarga Bali.
Beberapa
soroh yang selama ini dikenal misalnya Warga Pande, Sangging, Bhujangga
Wesnawa, Pasek, Dalem Tarukan, Tegeh Kori, Pulasari, Arya, Brahmana
Wangsa, Bali Aga dan lainnya. Semuanya memiliki sejarah turun-temurun
yang berbeda. Meski begitu, akhirnya mereka bertemu dalam siklus
keturunan yang disebut Hyang Pasupati. Begitu unik dan menarik memahami
kehidupan manusia Bali dalam kaitan mempertahankan garis leluhurnya
tersebut. Sebagian kehidupan ritual mereka juga diabdikan untuk
kepentingan pemujaan terhadap leluhur mereka
Identifikasi Orang Bali
Suku
bangsa Bali merupakan kelompok manusia yang terikat oleh kesadaran akan
kesatuan budayanya, kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang
sama. Walaupun ada kesadaran tersebut, namun kebudayaan Bali mewujudkan
banyak variasi serta perbedaan setempat. Agama Hindhu yang telah lama
terintegrasikan ke dalam masyarakat Bali, dirasakan juga sebagai unsur
yang memperkuat adanya kesadaran kesatuan tersebut.
Perbedaan
pengaruh dari kebudayaan Jawa di berbagai daerah di Bali dalam jaman
Majapahit dulu, menyebabkan ada dua bentuk masyarakat Bali, yaitu
masyarakat Bali - Aga dan masyarakat Bali Majapahit.
Masyarakat
Bali Aga kurang sekali mendapat pengaruh dari kebudayaan Jawa dari
Majapahit dan mempunyai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya
mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Cempaga
Sidatapa, pedawa, Tiga was, di Kabupaten Buleleng dan desa tenganan
Pegringsingan di Kabupaten Karangasem. Orang Bali Majapahit yang pada
umumnya diam didaerah-daerah dataran merupakan bagian yang paling besar
dari penduduk Bali.
Pulau
Bali yang luasnya 5808,8 Km2 dibelah dua oleh suatu pegunungan yang
membujur dari barat ke timur, sehingga membentuk dataran yang agak
sempit. di sebelah utara., dan dataran yang lebih besar disebelah
selatan. Pegunungan tersebut yang sebagian besar masih tertutup oleh
hutan rimba, mempunyai arti yang penting dalam pandangan hidup dan
kepercayaan penduduk. di wilayah pegunungan itulah terletak Parahyangan
(pura) yang dianggap suci oleh orang Bali, seperti Pura Pulaki, Pura
Batukaru, dan yang terutama sekali Pura Besakih yang terletak di kaki
Gunung Agung.
Sedangkan
arah membujur dari gunung tersebut telah menyebabkan penunjukan arah
yang berbeda untuk orang Bali utara dan Orang Bali selatan. Dalam Bahasa
Bali, kaja berarti ke gunung, dan kelod berarti ke laut. Untuk orang
Bali Utara kaja berarti selatan, sedangkan untuk orang Bali selatan kaja
berarti utara. Sebaliknya kelod untuk orang Bali utara berarti utara,
dan untuk orang bali selatan berarti selatan. Perbedaan ini tidak saja
tampak dalam penunjukan arah dalam bahasa Bali, tapi juga dalam aspek
kesenian dan juga sedikit aspek bahasa. Konsep kaja kelod itu nampak
juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam upacara agama, letak susunan
bangunan-bangunan rumah suci dan sebagainya.
Bahasa
Bali termasuk keluarga bahasa Indonesia. Dilihat dari sudut
perbendaharaan kata dan strukturnya, maka bahsa Bali tak jauh berbeda
dari bahsa Indonesia lainnya. Peninggalan prasasti zaman kuno
menunjukkan adanya suatu bahasa Bali kuno yang berbeda dari bahasa Bali
sekarang. Bahasa Bali kuno tersebut disamping banyak mengandung bahasa
Sansekerta, pada masa kemudiannya juga terpengaruh oleh bahasa Jawa Kuno
dari jaman Majapahit, ialah jaman waktu pengaruh Jawa besar sekali
kepada kebudayaan Bali. Bahasa Bali mengenal juga apa yang disebut
"perbendaharaan kata-kata hormat", walaupun tidak sebanyak
perbendaharaan dalam bahasa Jawa. Bahasa hormat (bahasa halus) dipakai
kalau berbicara dengan orang-orang tua atau tinggi. Di Bali juga
berkembang kesusasteraan lisan dan tertulis baik dalam bentuik puisi
maupun prosa. Disamping itu sampai saat ini di bali didapati juga
sejumlah hasil kesusasteraan Jawa Kuno (kawi) dalam bentuk prosa maupun
puisi yang dibawa ke Bali tatkala Bali di bawah kekuasaan kerajaan
Majapahit.
Sistem Kekerabatan Orang Bali
Perkawinan
merupakan suatu saat yang amat penting dalam kehidupan orang Bali,
karena pada saat itulah ia dapat dianggap sebagai warga penuh dari
masyarakat, dan baru sesudah itu ia memperoleh hak-hak dan kewajiban
seorang warga komuniti dan warga kelompok kerabat.
Menurut
anggapan adat lama yang amat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia)
dan sistem warna(wangsa), maka perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan
diantara warga se-klen, atau setidak-tidaknya antara orang yang dianggap
sederajat dalam warna. Demikian, perkawinan adat di Bali itu bersifat
endogami klen, sedangkan perkawinan yang dicita-citakan oleh orang Bali
yang masih Kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua orang
saudara laki-laki. Keadaan ini memang menyimpang dari lain-lain
masyarakat yang berklen, yang pada umumnya bersifat exogam.
Orang-orang
se-klen di Bali itu, adalah orang orang yang setingkat kedudukannya
dalam adat dan agama, dan demikian juga dalam warna, sehingga dengan
berusaha untuk kawin dalam batas klennya, terjagalah kemungkinan akan
ketegangan-keteganagan dan noda-noda keluarga yang akan terjadi akibat
perkawinan antar warna yang berbeda derajatnya. Dalam hal ini terutama
harus dijaga agar anak wanita dari warna yang tinggi jangan sampai kawin
dengan pria yang lebih rendah derajat warnanya, karena perkawinan itu
akan membawa malu kepada keluarga, serta menjatuhkan gengsi dari seluruh
warna dari anak wanita tersebut.
Dahulu,
apabila ada perkawinan semacam itu, maka wanitannya akan dinyatakan
keluar dari dadianya, dan secara fisik suami-istri akan dihukum buang
(maselong) untuk beberapa lama, ketempat yang jauh dari tempat asalnya.
Semenjak tahun 1951, hukuman sermacam itu tidak pernah dijalankan lagi,
dan pada saat ini hukuman campuran semacam itu relatif lebih banyak
dilaksanakan. Bentuk perkawinan lain yang dianggap pantang adalah
perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami dengan saudara
laki-laki istri (makedengan ngad), karena perkawinan yang demikian itu
dianggap dapat mendatangkan bencana (panes). Pada umumnya, seorang
pemuda Bali memperoleh seorang istri dengan dua cara, yaitu dengan
meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga gadis, atau dengan cara
melarikan seorang gadis (mrangkat,ngrorod). Kedua cara diatas
berdasarkan adat.
Sesudah
pernikahan, suami-istri yang baru biasanya menetap secara virilokal
dikomplek perumahan dari orang tua suami, walapun tidak sedikit suami
istri yang menetap secara neolokal dengan mencari atau membangun rumah
baru. Sebaliknya ada pula suami istri baru yang menetap secara
uxorilokal dikomplek perumahan dari keluarga istri (nyeburin). Kalau
suami istri menetap secara virilokal, maka anak-anak keturunan mereka
selanjutnya akan diperhitungkan secara patrilineal (purusa), dan menjadi
warga dari dadia si suami dan mewarisi harta pusaka dari klen tersebut.
Sebaliknya, keturunan dari suami istri yang menetap secara uxorilokal
akan diperhitungkan secara matrilineal menjadi warga dadia si istri, dan
mewarisi harta pusaka dari klen itu. Dalam hal ini kedudukan si istri
adalah sebagai sentana predhana(penerus keturunan).
Suatu
rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari suatu keluarga batih yang
bersifat monogami, sering ditambah dengan anak laki-laki yang sudah
kawin bersama keluarga batih mereka masing-masing dan dengan orang lain
yang menumpang, baik orang yang masih kerabat maupun orang yang bukan
kerabat. Beberapa waktu kemudian terdapat anak laki-laki yang sudah maju
dalam masyarakat sehingga ia merasa mampu untuk berdiri sendiri,
memisahkan diri dari orang tua dan mendirikajn rumah tangga sendiri yang
baru. Salah satu anak laki-laki biasanya tetap tinggal di komplek
perumahan orang tua (ngerob), untuk nanti dapat membantu orang tua
mereka kalau sudah tidak berdaya lagi dan untuk selanjutnya menggantikan
dan melanjutkan rumah tangga orang tua.
Tiap-tiap
keluarga batih maupun keluarga luas, dalam sebuah desa di Bali harus
memelihara hubungan dengan kelompok kerabatnya yang lebih luas yaitu
klen (tunggal dadia). Strutur tunggal dadia ini berbeda-beda di berbagai
tempat di Bali. Di desa-desa pegunungan, orang-orang dari tunggal dadia
yang telah memencar karena hidup neolokal, tidak usah lagi mendirikan
tempat pemujaan leluhur di masing-masing tempat kediamannya. didesa-desa
tanah datar, orang-orang dari tunggal dadia yang hidup neolokal wajib
mendirikan mendirikan tempat pemujaan di masing-nasing kediamannya, yang
disebut kemulan taksu.
Disamping
itu, keluarga batih yang hidup neolokal masih mempunyai
kewajiban-kewajiban terhadap kuil asal (dadia atau sanggah) di rumah
orang tua mereka.Suatu pura ditingkat dadia merayakan upacara-upacara
sekitar lingkaran hidup dari semua warganya, dan dengan demikian
pura/kuil tersebut mempersatukan dan mengintensifkan rasa solidaritet
anggota-anggota dari suatu klen kecil.
Di
samping itu ada lagi kelompok kerabat yang lebih besar yang melengkapi
beberapa kerabat tunggal dadia (sanggah) yang memuja kawitan leluhur
yang sama disebut kelenteng (pura) paibon atau panti. Dalam prakteknya,
suatu tempat pemujaan di tingkat paibon juga hanya mempersatukan suatu
lingkaran terbatas dari kaum kerabat yang masih dikenal hubungannya
saja. Klen-klen besar sering juga mempunyai suatu sejarah asal-usul yang
ditulis dalam bentuk babad dan prasasti yang disimpan sebagai pusaka
oleh salah satu dari keluarga-keluarga yang merasa dirinya senior, ialah
keturunan langsung dan salah satu cabang yang tua dalam klen.
Sistem Kemasyarakatan Orang Bali
Banjar
Merupakan bentuk kesatuan-kesatuan
sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial itu
diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara-upacara keagaman yang keramat.
Didaerah pegunungan, sifat keanggotaan banjar hanya terbatas pada orang
yang lahir di wilayah banjar tersebut. Sedangkan didaerah datar, sifat
keanggotaannya tidak tertutup dan terbatas kepada orang-orang asli yang
lahir di banjar itu. Orang dari wilayah lain atau lahir di wilayah lain
dan kebetulan menetap di banjar bersangkutan dipersilakan untuk menjadi
anggota(krama banjar) kalau yang bersangkutan menghendaki.
Pusat
dari banjar adalah Bale banjar, dimana warga banjar bertemu pada
hari-hari yang tetap. Banjar dikepalai oleh seorang kepala yang disebut
Kelian banjar. Ia dipilih dengan masa jabatab tertentu oleh warga
banjar. Tugasnya tidak hanya menyangkut segala urusan dalam lapangan
kehidupan sosial dari banjar sebagai suatu komuniti, tapi juga lapangan
kehidupan keagamaan. Kecuali itu ia juga harus memecahkan masalah yang
menyangkut Desa adat. Kadang kelian banjar juga mengurus hal-hal yang
sifatnya berkaitan dengan administrasi pemerintahan.
Subak
Subak
di Bali seolah-olah lepas dari dari Banjar dan mempunyai kepala
sendiri. Orang yang menjadi warga subak tidak semuanya sama dengan orang
yang menjadi anggota banjar. Warga subak adalah pemilik atau para
penggarap sawah yang yang menerima air irigasinya dari dari
bendungan-bendungan yang diurus oleh suatu subak. Sudah tentu tidak
semua warga subak tadi hidup dalam suatu banjar. Sebaliknya ada seorang
warga banjar yang mempunyai banyak sawah yang terpencar dan mendapat air
irigasi dari bendungan yang diurus oleh beberapa subak. Dengan demikian
warga banjar tersebtu akan menggabungkan diri dengan semua subak dimana
ia mempunya sebidang sawah.
Sekaha
Dalam
kehidupan kemasyarakatan desa di Bali, ada organisasi-organisasi yang
bergerak dalam lapangan kehidupan yang khusus, ialah sekaha. organisasi
ini bersifat turun-temurun, tapi ada pula yang bersifat sementara. Ada
sekaha yang fungsinya adalah menyelenggarakan hal-hal atau
upacara-upacara yang berkenan dengan desa, misalnya sekaha baris/sanggar
tari Baris (perkumpulan tari baris), sekaha teruna-teruni. Sekaha
tersebut sifatnya permanen, tapi ada juga sekaha yang sifatnya
sementara, yaitu sekaha yang didirikan berdasarkan atas suatu kebutuhan
tertentu, misalnya sekaha memula (perkumpulan menanam), sekaha manyi
(perkumpulan menuai), sekaha gong (perkumpulan gamelan) dan lain-lain.
sekaha-sekaha di atas biasanya merupakan perkumpulan yang terlepas dari
organisasi banjar maupun desa.
Gotong - Royong
Dalam
kehidupan berkomuniti dalam masyarakat Bali dikenal sistem gotong
royong (nguopin) yang meliputi lapangan-lapangan aktivitas di sawah
(seperti menanem, menyiangi, panen dan sebagainya), sekitar rumah tangga
(memperbaiki atap rumah, dinding rumah, menggali sumur dan sebagainya),
dalam perayaan-perayaan atau upacara-upacara yang diadakan oleh suatu
keluarga, atau dalam peristiwa kecelakaan dan kematian. nguopin antara
individu biasanya dilandasi oleh pengertian bahwa bantuan tenaga yang
diberikan wajib dibalas dengan bantuan tenaga juga. kecuali nguopin
masih ada acara gotong royong antara sekaha dengan sekaha. Cara serupa
ini disebut ngedeng (menarik). Misalnya suatu perkumpulan gamelan
ditarik untuk ikut serta dalam menyelenggarakan suatu tarian dalam
rangka suatu upacara odalan. bentuk yang terakhir adalah kerja bhakti (ngayah) untuk keperluan agama,masyarakat maupun pemerintah.
Kesatuan-kesatuan
sosial di atas, biasanya mempunyai pemimpin dan mempunyai kitab-kitab
peraturan tertulis yang disebut awig-awig atau sima. Pemimpin biasanya
dipilih oleh warganya. Klen-klen juga mempunyai tokoh penghubung yang
bertugas memelihara hubungan antara warga-warga klen, menjadi penasehat
bagi para warga mengenai seluk beluk adat dan peristiwa-peristiwa yang
bersangkaut paut dengan klen. Tokoh klen serupa itu di sebut moncol.
Klen tersebut tidak mempunyai peraturan tertulis, akan tetapi mempunya
silsilah/babad. Ditingkat desa ada kesatuan-kesatuan administratif yang
disebut perbekelan. Suatu perbekelan yang sebenarnya merupakan warisan
dari pemerintah Belanda, diletakkan diatas kesatuan-kesatuan adat yang
asli di Bali, seperti desa adat dan banjar. Maka terdapatlah
gabungan-gabungan dari banjar dan desa ke dalam suatu perbekelan yang
dipimpin oleh perbekel atau bendesa yang secara administratif
bertanggung jawab terhadap atasannya yaitu camat, dan seterusnya camat
bertanggung jawab kepada bupati.dst dsb. (sebagian teks diambil dari babad Bali di tambah babad Jawa/Majapahit).
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
ReplyDeleteKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.