Tapi, itu tak berlaku bagi Eva Yunus di
Palembang. Bermodal Rp 200.000, Eva mampu mengembangkan usaha kerupuk
kelempang, sering juga disebut kempelang, bermerek Eva Yunus.
Usaha keras dan semangat membara membuat
usahanya mekar. Kini bisnis kerupuk kelempangnya mampu membawa omzet Rp
35 juta per bulan. Berarti, dalam setahun dia bisa mencatat omzet Rp
420 juta. Gurih kan?
Ketertarikan Eva untuk mulai berbisnis
sebenarnya datang dari tekanan ekonomi yang mengimpit kehidupannya.
Sebagai guru, gaji suami Eva tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Dari situ saya menguatkan tekad menambah penghasilan,” ujar Eva yang
mulai usaha sejak 1998.
Pilihannya jatuh pada usaha kerupuk.
Selain modalnya tak besar, dalam hitungan Eva, keuntungannya lumayan.
“Bisa sekitar 20 persen dari omzet,” ujar Eva. Ilmu perkerupukan dia
pelajari dari orangtuanya yang pernah berbisnis pembuatan kerupuk
kelempang.
Tanpa pikir panjang, Eva membeli semua
peralatan pembuatan kerupuk milik orangtuanya yang sudah menganggur itu.
Setelah itu, Eva membeli bahan-bahan pembuat kerupuk seperti tepung,
ikan, dan bumbu. Namun, dengan modal yang minim, duit Eva tak cukup.
Upaya meminjam dari kerabat mustahil
sulit lantaran mereka juga kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tangga
masing-masing. Makanya, Eva meminta suaminya meminjam uang dari
koperasi. Untuk melunasinya, gaji bulanan sang suami harus kena potong.
“Tak mengapa, yang penting bisa usaha,” ujar Eva mengenang.
Namun memasarkan kerupuk kelempang hasil
bikinannya ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Maklum, banyak
pemain kerupuk kelempang di Palembang. Tapi Eva tak menyerah. Dia tahu
persis kerupuk kelempang adalah kudapan paling dicari oleh warga
Palembang maupun pelancong. “Mencocol kerupuk ke sambal sambil nonton
TV,” ujar dia.
Makanya, sasaran utama Eva adalah para
tetangga dan sanak famili. Untuk itu, Eva menggelar dagangannya di
emperan rumahnya sebagai etalase.
Agar berbeda dengan kerupuk kelempang
lain, Eva mendongkrak kualitas rasa kerupuk bikinannya. Komposisi bahan
ikan gabus dan tenggiri dia bikin lebih dominan ketimbang tepung.
Perbandingannya, 1 kg ikan hanya menghasilkan 4 kg kerupuk mentah.
“Dengan begitu, rasa ikan akan lebih terasa,” ujar Eva. Soal campuran
bumbu, Eva enggan berbagi lantaran resep ini rahasia keluarga.
Tak puas hanya menjual kerupuk ke
tetangga dan saudara-saudara, Eva berharap bisa menjual produknya lebih
luas. Celakanya, dia tak punya modal lebih besar untuk mengembangkan
usahanya.
Terpikir olehnya untuk berpromosi secara
besar-besaran. Namun, kendalanya, dia tak punya modal. Padahal, dari
promosi Eva yakin bisa mengembangkan usaha.
Eva pun menawarkan kerupuk kelempangnya
ke acara-acara arisan, sunatan, hingga perkawinan. Tentu tak lupa dia
menawarkan dagangannya ke toko-toko. “Dari situ, pesanan kepada saya
mulai mengalir hingga sekarang,” ujar Eva.
Kini Eva hanya menjajakan kerupuk
bikinannya di rumah, persisnya di Jalan KH A Azhari Lr Anten-Anten No
557 RT 165, Ulu Laut, Palembang. Rumahnya yang persis berada di pinggir
jalan besar menjadi toko sekaligus pabrik kerupuk.
Dalam menjalankan usahanya, Eva mengaku
tak banyak menarik untung. Baginya, kerupuk Eva Yunus jadi terkenal saja
sudah cukup membuatnya senang. “Jika banyak pembeli datang, usaha saya
terus berputar kan?” ujar Eva kalem.
Eva yakin, jika banyak konsumen mengenal
dan mencicipi produknya, pasti sebagian di antaranya akan kembali
datang. “Kualitas produk nomor satu untuk menarik pelanggan datang
kembali,” ujar dia yakin.
Rajin berinovasi
Eva sadar betul, banyak pemain kerupuk
kelempang sekarang ini. Namun, itu tak membuat dirinya patah arang
menggeluti usaha ini. Selain tetap menjaga kualitas, Eva juga melakukan
inovasi. Salah satunya dengan membuat kerupuk dalam bentuk kotak dan
lonjong. Dengan varian bentuk seperti itu, Eva mengaku tak berani
menambah harga jual. “Harga tetap sama meski bentuk beda,” ujar Eva
berpromosi.
Yang membedakan harga hanya cara
membuatnya. Kerupuk kelempang bakar lebih mahal lantaran saat
pemanggangan kerupuk menjadi susut. “Kerupuk yang semula sekilo menjadi 8
ons,” ujar dia.
Eva juga menambah varian kerupuknya
dengan menyediakan kerupuk tanjung. “Ini kerupuk langka dan hanya ada di
saat pesta,” ujar Eva. Dia berani mengklaim bahwa hanya dirinya yang
menjual kerupuk tanjung ini di Palembang.
Lalu lalang kendaraan yang berhenti di
rumah Eva rupanya menarik minat PT Pupuk Sriwidjaya untuk menjadikannya
sebagai mitra binaan. Gayung bersambut lantaran Eva juga berniat
mengembangkan usahanya.
Pada 2003 Eva pun mengajukan proposal
pinjaman ke Pusri. “Tak banyak, hanya Rp 9 juta,” tutur dia. Pinjaman
berbunga 6 persen dengan masa pinjaman tiga tahun itu dia ambil untuk
menambah jumlah pegawai.
Belum sampai pinjaman itu jatuh tempo,
Eva sudah melunasinya. Lantaran itu pula, Pusri, sebutan populer BUMN
penghasil pupuk itu, kembali memberikan persetujuan atas proposal
pinjaman yang kedua. Kali itu Eva berani mengajukan kredit senilai Rp 20
juta untuk mengembangkan pabrik.
Seiring hubungan baik dengan Pusri, Eva
kerap diajak mengikuti berbagai kegiatan pameran. Lewat pameran ini pula
pesanan tak henti-hentinya mengalir kepadanya. Makanya, Eva kembali
meminta tambahan modal ke Pusri. Nilainya sudah jauh meningkat, menjadi
Rp 40 juta.
Tapi, Pusri pasang syarat: Eva harus
membina para nelayan sebagai plasma. Nelayan yang dimaksud adalah para
pemasok ikan tengiri dan gabus. Eva tak menganggap persyaratan itu
sebagai persoalan. Dengan cara ini, dia justru merasa beruntung karena
tak perlu lagi bersusah payah mencari bahan baku utama produksi
kerupuknya.
Cuma, Eva juga tak asal main borong
dagangan para plasmanya. Dia mematok persyaratan ketat bagi para nelayan
binaannya. Hanya ikan-ikan segar yang dia terima sebagai bahan kerupuk
kelempangnya. “Saya tak segan menolak jika ikan dari nelayan ternyata
berkualitas jelek,” tandas Eva. Dengan cara ini, Eva tetap bisa menjaga
kualitas dagangannya.
Sumber : Kompas
0 comments:
Post a Comment