Candi Singosari,
Jejak Dinasti Penguasa Nusantara
Jejak Dinasti Penguasa Nusantara
Tau nggak, kalau ada candi di Indonesia
yang ternyata belum selesai dibangun? Ya, itulah Candi Singosari. Candi
yang merupakan peninggalan Kerajaan Singhasari (1222-1292 M) ini
nyatanya adalah sebuah karya yang terbengkalai, alias ditinggalkan saat
masih dalam proses pengerjaan.
Masak sih? Padahal candi itu kelihatan utuh kok?
Kalau teman-teman berkunjung ke Candi
Singosari, cobalah perhatikan dengan seksama. Seperti candi pada
umumnya, dinding Candi Singosari juga dihiasi ornamen ukiran. Namun,
ornamen pada candi ini tampak seperti belum selesai. Pada bagian atas
candi, ukiran ornamen terlihat detail, rata, dan rapi. Tetapi di bagian
bawah candi, ukiran ornamen tampak kasar dan tidak mendetail, menandakan
bahwa ornamen tersebut masih setengah jadi. Padahal menurut Wikipedia, candi ini dibangun dengan sistem menumpuk batu andhesit hingga ketinggian tertentu, lalu mengukirnya dari atas baru turun ke bawah. Ukiran di bawah yang masih belum jadi memperkuat dugaan bahwa candi ini sebenarnya belum selesai dibangun.
Lantas, apa sebabnya candi ini nggak selesai dibangun?Apa karena dana dari pusat dikorupsi sama pejabat daerahnya? Atau dikemplang sama kontraktor yang menang tender? Jawabannya
nggak ada yang pasti. Sejarawan hanya bisa menduga-duga. Konon, candi
ini dibangun sebagai tempat pemujaan Dewa Syiwa. Namun, dalam proses
pengerjaannya, Kerajaan Singhasari mendadak “gonjang-ganjing”.
Kertanegara, raja termasyhur sekaligus raja terakhir Singhasari,
tiba-tiba diserang oleh Jayakatwang, raja bawahannya dari Kadiri.
Pemberontakan itu sangat tak terduga. Mulanya, Kertanegara mengira
Jayakatwang akan menyerang dari arah Utara Kerajaan, sehingga ia
mengirim Raden Wijaya, menantunya untuk menghalau serangan tersebut.
Nyatanya, serangan dari utara itu hanyalah pancingan agar Istana kosong
tanpa penjagaan. Saat itulah, Jayakatwang dan pasukan lainnya menerobos
masuk Istana Singhasari dari arah Selatan. Dengan cepat istana pun
diserang, Kertanegara dibunuh, dan Kerajaan Singhasari akhirnya runtuh.
Tamat deh!
Keruntuhan Singhasari itulah yang
diperkirakan menghentikan pengerjaan candi ini. Candi yang belum selesai
itu konon dijadikan tempat pendharmaan bagi Kertanegara, sang raja
terakhir.
Nah, Candi Singosari adalah tempat
kontemplasi yang tepat untuk merenungi sejarah Nusantara dalam bingkai
Dinasti Rajasa, dinasti para raja Singhasari dan Majapahit. Kalau
teman-teman tertarik, silakan datang saja ke Jalan Kertanegara, Desa Candirenggo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Letaknya
nggak jauh kok dari pusat keramaian, hanya beberapa ratus meter dari
Pasar Singosari. Kompleks candi ini bersih dan indah. Kalau masuk kita
harus mengisi buku tamu, lalu mengisi “uang kas” seikhlasnya kepada
penjaga pos, yaa kira-kira goceng lah.
Sebelum datang ke tempat ini, ada baiknya
teman-teman sudah memiliki sedikit pengetahuan tentang sejarah Kerajaan
Singhasari dan Majapahit. Kalau sudah “mudheng” ceritanya, rasanya melihat candi ini akan lebih “marem”.
Di sini kita bisa menghayati benar kisah-kisah para raja leluhur yang
penuh intrik tetapi sungguh menarik. Berikut ini saya paparkan beberapa
hasil ngelamun perenungan sejarah saat berwisata ke Candi Singosari…
Ken Dedes, Ibunda para Raja
Di halaman kompleks Candi Singosari, ada
arca-arca yang dipajang berjejer lurus dengan pos jaga. Arca-arca
tersebut dahulunya ditemukan bersama reruntuhan Candi Singosari pada
tahun 1800-an. Sebagian arca diboyong ke Museum Leiden oleh penjajah
Belanda tukang nyolong warisan budaya negara lain dan
sisanya ditinggalkan di sekeliling candi. Kalau kita perhatikan, salah
satu dari arca tersebut ada yang tidak punya kepala alias kepalanya hancur!
Arca itu sebenarnya adalah salah satu dari tiga arca Dewi Prajnaparamita yang telah ditemukan sejarawan. Dua arca ditemukan di Candi Singosari,
sedangkan satu arca lagi di Candi Gilang, Tulungagung. Namun, di Candi
Singosari hanya arca tanpa kepala yang bisa kita saksikan sekarang.
Lantas, di mana arca Prajnaparamita satunya—yang masih utuh, cantik, nan anggun???
Usut punya usut, arca itu ternyata dahulu
juga ikut diboyong ke Museum Leiden, Belanda. Untungnya, pada 1978
akhirnya Pemerintah Belanda mau mengembalikan arca tersebut dan kini
disimpan di Museum Nasional Jakarta. Fyuhhh…
Emangnya apa sih istimewanya arca itu?
Oleh para sejarawan, arca Dewi Prajnaparamita ini diyakini sebagai perwujudan dari Ken Dedes, permaisuri Ken Arok yang merupakan pendiri Dinasti Rajasa. Dalam kitab Pararaton, diceritakan bahwa Ken Dedes adalah seorang nareswari,
perempuan istimewa yang ditakdirkan menjadi “ibu para raja”. Lelaki
manapun yang menikahinya akan menjadi seorang raja. Tanda-tandanya
adalah, dari “daerah kewanitaannya” memancarkan cahaya yang terang
benderang.
Oleh karena itulah, saat tak sengaja
melihat kain Ken Dedes tersingkap di Taman Boboji, Ken Arok langsung
berhasrat ingin menikahinya karena melihat “sinar” tersebut. Padahal,
saat itu Arok telah memiliki istri bernama Ken Umang. Namun ambisi Arok
menjadi seorang raja membuat dia memaksa ingin menikahi Dedes dan
menjadikannya permaisuri—meskipun saat itu Dedes telah bersuamikan
Tunggul Ametung.
Alhasil, pada suatu malam Arok pun membunuh
Tunggul Ametung di tempat tidurnya dengan keris Mpu Gandring,
disaksikan oleh Dedes yang saat itu tidur di samping suaminya. Arok pun
menjadi penguasa Tumapel dan menikahi Dedes. Selanjutnya, ia menaklukkan
Raja Kertajaya dari Kadiri, lalu mendirikan Kerajaan Singhasari. Di
kemudian hari, ramalan Dedes sebagai perempuan nareswari ternyata terbukti.
Raja-raja Singhasari dan Majapahit semuanya adalah keturunan langsung dari rahim Ken Dedes, baik hasil pernikahannya dengan Tunggul Ametung maupun dengan Ken Arok. Keturunan Ken Arok dengan istrinya yang lain justru tidak bertahan lama menjadi raja.
Raja-raja Singhasari dan Majapahit semuanya adalah keturunan langsung dari rahim Ken Dedes, baik hasil pernikahannya dengan Tunggul Ametung maupun dengan Ken Arok. Keturunan Ken Arok dengan istrinya yang lain justru tidak bertahan lama menjadi raja.
Keberadaan Ken Dedes menjadikan Dinasti
Rajasa terasa istimewa. Dinasti kerajaan terbesar di Nusantara itu
ternyata berpangkal pada seorang perempuan, bukan seorang laki-laki. Ken
Dedes mengejawantahkan peran utama seorang perempuan sebagai ibu.
Melalui Ken Dedes kita dapat melihat bahwa generasi yang istimewa, terlahir dari seorang ibu yang istimewa.
Raden Wijaya, Pejuang yang Bertahan Hidup
Di dalam kompleks Candi Singosari ditanam
beberapa batang pohon Maja dengan buahnya yang bergelantungan lebat.
Buah Maja bentuknya bulat besar seukuran jeruk Bali, tapi sangat pahit
jika dimakan. Buah inilah yang ditemukan oleh Raden Wijaya, seorangsurvivor bangsawan Singhasari yang lolos dari penyerbuan Jayakatwang, saat dia membuka daerah baru di suatu hutan.
Bagaimana kisahnya Raden Wijaya bisa
selamat dari keruntuhan Singhasari? Alkisah saat Istana Singhasari
diserbu Jayakatwang pada 1292, Raden Wijaya dan pasukan Singhasari
sedang bertempur di Utara Kerajaan. Ketika ia kembali, Istana Singhasari
telah hancur lebur dan Kertanegara sudah dibunuh. Raden Wijaya pun
melarikan diri bersama keempat putri Kertanegara, lalu meminta
perlindungan kepada Arya Wiraraja, penguasa Sumenep, Madura.
Dengan bantuan Arya Wiraraja, Raden Wijaya
berpura-pura menyerah kepada Jayakatwang, lalu memohon untuk diberikan
sebidang tanah di Hutan Tarik, sebelah timur Kadiri. Di hutan inilah ia
kemudian membangun sebuah desa bernama Majapahit, diambil dari nama
pohon Maja berbuah pahit yang banyak terdapat di hutan itu.
Tak dinyana, tak diduga, ndilalah tak
sampai setahun kemudian, pada 1293 Kerajaan Mongol mengerahkan 20.000
pasukan dan 1.000 kapal untuk menyerang Kertanegara dan Kerajaan
Singhasari. Mereka merasa terhina atas sikap Kertanegara dahulu yang
tidak mau tunduk kepada Raja Kubilai Khan dari Mongol, sehingga
memutuskan menyerang Singhasari.
Namun sesampainya di Jawa, pasukan Mongol mendapat kabar “ngglethek” bahwa Kertanegara ternyata telah tewas dan Singhasari kini dikuasai Jayakatwang.
Namun sesampainya di Jawa, pasukan Mongol mendapat kabar “ngglethek” bahwa Kertanegara ternyata telah tewas dan Singhasari kini dikuasai Jayakatwang.
Tapi kedatangan pasukan Mongol ini berhasil
dimanfaatkan dengan cerdik oleh Raden Wijaya. Dia bergabung dengan
pasukan Mongol dan membantu mereka menyerang Jayakatwang. Pasukan Mongol
sih oke-oke saja karena merasa terbantu dengan dukungan “orang dalam”.
Setelah Jayakatwang kalah dalam pertempuran besar itu, pasukan Mongol
pun berpesta pora.
Tak disangka, sebulan kemudian Raden Wijaya
ganti memberontak dan menyerang pasukan Mongol. Saat itu Raden Wijaya
dikawal 200 prajurit Mongol menuju Majapahit untuk mempersiapkan
persembahan kepada Kubilai Khan. Namun di tengah perjalanan apa yang
terjadi? Raden Wijaya dan para prajuritnya justru berbalik membunuh
pasukan Mongol tersebut. Wow! Lalu
dengan pasukan yang lebih besar, Raden Wijaya memukul mundur seluruh
pasukan Mongol yang ada di Jawa, dan memaksa mereka kembali ke
negaranya.
Setelah itu Raden Wijaya pun resmi
mendirikan kerajaan baru bernama Majapahit dan menjadi rajanya yang
pertama bergelar Prabu Kertarajasa Jayawardana.
Kalau kita cermati,berdirinya Majapahit itu berlangsung hanya sekitar setahun setelah runtuhnya Singhasari. Kebangkitan Dinasti Rajasa yang sangat cepat itu tidak lepas dari taktik Raden Wijaya yang sangat lihai. Melalui sosoknya, kita dapat melihat bahwa untuk bangkit dari kehancuran, dibutuhkan pejuang yang tangguh dan cerdik seperti Raden Wijaya, tidak putus asa dan mampu bertahan hidup!
Kalau kita cermati,berdirinya Majapahit itu berlangsung hanya sekitar setahun setelah runtuhnya Singhasari. Kebangkitan Dinasti Rajasa yang sangat cepat itu tidak lepas dari taktik Raden Wijaya yang sangat lihai. Melalui sosoknya, kita dapat melihat bahwa untuk bangkit dari kehancuran, dibutuhkan pejuang yang tangguh dan cerdik seperti Raden Wijaya, tidak putus asa dan mampu bertahan hidup!
***
Demikianlah selarik kisah tentang Kerajaan
Singhasari dan Majapahit, yang direfleksikan melalui kontemplasi di
Candi Singosari. Sebagai jejak peninggalan Dinasti Rajasa,
pesona Candi Singosari sungguh menawan. Kisah mengenai dinasti penguasa
Nusantara ini banyak termaktub dalam kitab kuno, prasasti, dan catatan
kerajaan lain di luar negeri. Kedua kerajaan yang mereka dirikan
(Singhasari dan Majapahit) memang termasyhur di kalangan sejarawan
mancanegara. Kitab Nagarakretagama yang merupakan sumber utama kisah
Dinasti Rajasa bahkan diterjemahkan oleh sejarawan Belanda, Dr
Pigeaud. Banyak tulisan-tulisan Barat menceritakan tentang Ken Arok dan
Ken Dedes. Karena itu, sering pula para wisatawan asing berkunjung ke
Candi Singosari.
Sebagai putra Indonesia, kita juga harus
memahami sejarah bangsa sendiri. Dengan mengunjungi objek wisata sejarah
seperti Candi Singosari, ternyata banyak sekali ilmu yang didapat.
Ingat, jejak sejarah akan selalu berulang. Intrik
politik yang kita lihat pada zaman sekarang, sesungguhnya telah ada
sejak zaman kerajaan dahulu kala. Hasut menghasut dan bunuh membunuh
seperti sudah menjadi lakon manusia yang telah dirasuki nafsu kekuasaan.
Kerajaan Singhasari yang didirikan dengan pertumpahan darah, berakhir
pula dengan pertumpahan darah. Namun dari kekalahan dan keruntuhan itu,
ternyata masih ada pejuang yang bisa bertahan, tidak putus asa
melanjutkan perjuangan. Kerajaan baru pun tumbuh berkembang lagi menjadi
kerajaan yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Karena itu, seperti kata Bung Karno, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dengan
mempelajari sejarah, kita akan lebih mengenal dan menyadari siapa diri
kita sebenarnya. Karena pemahaman yang dalam akan masa lalu, membuat
kita lebih berhati-hati sebelum melangkah di masa depan…
0 comments:
Post a Comment