Popular Posts

Powered by Blogger.

Translate to My Language

ALEXA

Mengenai Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat

























Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dibangun pada tahun 1745 sebagai ganti ibu kota Kerajaan Mataram di Kartasura yang hancur akibat pemberontakan orang-orang Cina melawan kekuasaan Susuhunan Paku Buwono II yang bertakhta di Kartasura (Geger Pacinan) pada tahun 1742.

TUGU PAMANDENGAN

Titik akses utama menuju Keraton Surakarta dari arah utara sesungguhnya adalah Tugu Pamandengan. Tugu ini terletak sekitar 300 meter ke arah utara dari gerbang utama keraton yang disebut Gapura Gladag, tepat di depan Balaikota Surakarta saat ini.

Tugu Pamandengan berfungsi sebagai titik fokus pandangan Sri Susuhunan Pakubuwono ketika beliau duduk sinewoko di tempat yang ditinggikan di Bangsal Pagelaran. Memfokuskan pandangan pada Tugu Pamandengan terutama bagian puncaknya, dipercaya sebagai salah satu sarana meditasi yang sangat kuat bagi Sri Susuhunan Pakubuwono.


GAPURA GLADHAG
Lurus ke arah selatan dari Tugu Pamandengan terdapat satu gapura besar yang berfungsi sebagai pintu gerbang pertama memasuki kawasan keraton dari arah utara, gerbang ini dinamakan Gapura Gladhag. Gapura ini dibangun pada tahun 1913 M dan diperbaiki pada tahun 1930 M. Gapura Gladhag dihiasi dengan 48 motif dan 48 garis yang membentuk pagar, sebagai tanda peringatan ulang tahun Sri Susuhunan Pakubuwono
Di depan gapura, di sebelah kiri dan kanannya, berdiri dua buah arca kembar besar. Arca yang berwujud raksasa ini dinamakan Arca Pandhito Yakso, yang dibuat di Pandansimping Klaten. Pada jaman dahulu tempat di belakang Gapura Gladhag dipergunakan sebagai tempat mengekang binatang-binatang hasil perburuan sebelum disembelih. Makna simbolis yang ada di area Gladhag adalah manusia yang ingin mendapatkan kekuatan fisik dan spiritual harus mampu menahan dan mengekang hawa nafsu.
Sebelum memasuki alun-alun utara kita melewati lagi gapura yang kedua dan ketiga, yang dinamakan Gapura Pamurakan, tempat ini dihiasi dengan motif dekorasi api dan matahari. Di tempat ini dulu dilakukan pemotongan hewan hasil perburuan seperti babi hutan, menjangan dan lain-lain untuk dibagikan pada rakyat. Tempat penyembelihan yang disebut Centheng dan berusia lebih dari 500 tahun, masih dapat ditemui sampai sekarang. Makna simbolis dari area ini adalah manusia harus mampu menahan/ membunuh emosi dan amarah.

Di sebelah selatan Gapura Pamurakan ditanam pohon beringin. Yang di sebelah kiri diberi nama Weringin Wok, yang artinya perempuan, sedangkan yang di sebelah kanan diberi nama Weringin Djenggot yang artinya laki-laki. Kedua pohon beringin ini pada jaman dahulu dipergunakan sebagai tempat istirahat prajurit Bang Wetan dan Bang Kulon

ALUN-ALUN LOR
Setelah melewati 3 pasang gapura akan dijumpai suatu lapangan yang sangat luas, kurang lebih sekitar 10 hektare yang disebut Alun-Alun Lor/ Utara. Seluruh tanah di Alun-Alun Utara dibuat rata, hal ini dimaksudkan supaya orang yang memasuki alun-alun sudah dapat dilihat dari kejauhan. Saat ini tanah rata di Alun-Alun Utara telah berganti mejadi rumput, sementara di bagian tengahnya terdapat jalan setapak yang dikelilingi pohon palem.

Ditengah-tengah alun-alun utara terdapat sepasang pohon beringin yang dikurung pagar besi. Masyarakat sampai sekarang menamakannya sebagai Ringin Kurung Sakembaran. Yang di sebelah barat diberi nama Joyodaru (Cahaya Kemenangan), sedangkan yang di sebelah timur diberi nama Dewodaru (Cahaya Keagungan). Kedua pohon beringin ini pindahan dari Keraton Kartosuro, pada waktu pindahnya pohon-pohon ini diemban dengan cinde, masing-masing digendong oleh Adipati Pringgoloyo dan Adipati Sindurejo.

Mengelilingi Alun-alun Utara masih banyak dijumpai pohon beringin, dua diantaranya dinamakan Weringin Gung (tinggi) dan Weringin Binatur (rendah), yang bermakna tidak boleh terlalu meninggikan diri dan tidak boleh juga terlalu merendahkan diri. Sementara pohon beringin lainnya dipergunakan sebagai pohon peneduh, yang bermakna pengayoman/ perlindungan abadi tanpa batas.


PEKAPALAN DAN PEWATANGAN
Di sekitar alun-alun, di sebelah utara terdapat bangsal kecil yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada jaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih.

Beberapa bale lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini, semenjak digantikannya kuda dengan mode transportasi modern.

Bale tersebut diantaranya adalah Gedong Kiwo, Keparak Kiwo, Jekso, Penumping, Paseban Pemajegan, Kadipaten Anom, Bumi gede, Keparak tengen, Gedong Tengen dan Bangsal Patalon. Bangunan-bangunan ini sekarang dipergunakan sebagai kios penjual cindera-mata.

Di sebelah barat daya alun alun lor (ke arah Pasar Klewer)dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng) terdapat 2 gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-Alun Lor yang bernama Gapura Batangan dan Gapura Klewer.


MASJID AGUNG
Di sebelah barat alun-alun utara ada sebuah masjid yang diberi nama Masjid Agung Surokarto Hadiningrat. Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 m2 yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan pagar tembok keliling setinggi 3,25 m. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka, saka gurunya dibuat pada jaman Pakubuwono III tahun 1789 M atau “Trusing sarira winayang ratu“ atau 1177 H (hangraras temen pangandikaning Nabi) atau 1204 H (dadi luhur manembahing Allah). Dahulu masjid ini diurusi oleh Kawedanan Yogaswara.

Bangunan Masjid Agung terdiri dari :
- Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung.
- Ruang Shollat Utama, mempunyai 4 saka guru dan 12 saka rawa dengan mihrab dan kelengkapan mimbar sebagai tempat Khotib pada waktu Sholat Jum’at.
- Pawestren, (tempat shollat untuk wanita) dan Balai Musyawarah
- Tempat berwudhu
- Pagar Keliling (topengan), dibangun pada masa PB VIII tahun 1858.
- Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad S.A.W.)
- Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Sholat Jum’at dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta.
- Gedung PGA Negeri, didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono X (1914) dan menjadi milik kraton.
- Menara Adzan, bertinggi 33 meter mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India. Didirikan pada tahun 1928 oleh Pakubuwono X saat ultah beliau yang ke-40.
- Tugu Jam Istiwak, yaitu jam yang menggunakan patokan posisi matahari untuk menentukan waktu sholat.
- Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung

Dalam acara Sekaten (Muludan), di bangsal sebelah selatan dibunyikan gamelan bernama Kyai Gunturmadu, dibuat pada jaman Pakubuwono IV tahun 1818 (Naga Raja Nitih Tunggal). Di bangsal sebelah utara diperdengarkan gamelan yang bernama Kyai Guntursari, dibuat jaman awal Mataram Islam tahun 1566 (Rerenggan wowohan tinata ing wadah). Gending yang diperdengarkan adalah Gending Rangkung.

Di podium masjid terdapat tulisan “rukuning Islam iku ono limang prakara”, di sebelahnya lagi ada ukiran kayu dengan kaligrafi yang dibuat pada jaman Pakubuwono III (tahun Wawu 1769).

PAGELARAN SASONOSUMEWO

Setelah melewati alun-alun utara kita sampai di Bangsal Pagelaran Sasonosumewo. Di depan bangsal ini dapat ditemui suatu monumen yang bertinggi sekitar 6 meter, yang merupakan tugu peringatan 200 tahun berdirinya keraton Surakarta Hadiningrat. Tugu ini dinamakan Tugu Tomas Warso, berbentuk seperti sebuah bom sebagai peringatan pengeboman kota Solo oleh tentara Jepang pada tahun 1940-an.

Ketika baru pindah dari Kraton Kartosuro, Bangsal Pagelaran masih berupa bangunan darurat dari gedeg dengan alas belum diplester. Pada tahun 1913 M dimasa pemerintahan Sinuhun Pakubuwono ke-X bangsal tersebut dipugar, sehingga berwujud seperti bangunan yang dapat kita lihat seperti sekarang ini, dengan 48 pilar. Di tengah-tengah Pagelaran ada sebuah bangsal kecil yang diberi nama bangsal Pangrawit. Bangsal ini biasa dipergunakan Sinuhun kalau ada upacara, seperti upacara wisudaan para anggota sentono-dalem dan para pegawai-pegawai tinggi berpangkat bupati keatas. Upacara-upacara semacam ini dinamakan Miyos Tinangkil. Di bangsal Pangrawit ada sebuah batu yang namanya Selo gilang, yang dipergunakan Sinuhun untuk bancik kaki. Selo gilang ini sudah ada sejak Panembahan Senopati di keraton Kota Gedhe.

Di sebelah kiri dan kanan pagelaran ada dua bangunan kecil yang dinamakan Pacikeran dan Pacekotan. Bandsal Pacekotan (melompat kegirangan) dipergunakan untuk upacara pemberian tanda kehormatan/ gelar kerajaan. Sementara bangsal Pacikeran (ciker, ketakutan) dipergunakan sebagai tempat untuk menjatuhkan hukuman.

Di dalam komplek Pagelaran ada pintu ke timur dan ke barat, masing-masing menuju ke Supit Urang Wetan dan Supit Urang Kilen. Keluar dari Pagelaran menuju ke selatan kita akan melewati pintu yang diberi nama Kori Wijil. Di depan pintu ini ada sebuah batu, dibawah batu ini ditanam kepala dari seorang gembong penjahat bernama Sandiman yang dihukum pancung.

Di kiri kanan kori widjil ada dua bangsal kecil yaitu Bangsal Singonagoro, yang biasa dipergunakan untuk memutusi perkara-perkara pidana, sedangkan yang lain dinamakan Bangsal Martolulutan dipergunakan untuk upacara-upacara pemberian hadiah kepada rakyat kecil


SITIHINGGIL LOR
Setelah melewati Kori Widjil kita akan sampai di Siti Hinggil Binoto Waroto. Di dalam Siti Hinggil ini ada pendopo yang dinamakan Bangsal Sewojono/ Bangsal Ponconiti, dan di dalamnya ada bangsal kecil lagi yang dinamakan Bangsal Mangunturtangkil yang biasa dipergunakan untuk duduk Sinuhun waktu merayakan grebegan. Siti Hinggil yang juga biasa dinamakan sebagai Siti Bentaryang, dibangun oleh Sinuhun Paku Buwono ke-III pada tahun 1701 Jawi (1774 M).

Di komplek Siti Hinggil ada 5 bangsal lagi yaitu:
- Bangsal Witono, yang dipergunakan sebagai tempat duduk para wanita pembawa tanda kebesaran raja ketika duduk di singasana di Sitihingil Lor. Tanda kebesaran Raja yang dibawa berupa Banyak Dalang, Sawung Galing, Ardo Waliko dan Kukutuk Mino. Ditengah Bangsal Witono dapat dijumpai krobongan tempat menyimpan meriam Nyai Setomi.
- Bale Angun-angun dipakai untuk menempatkan gamelan Kyahi Kanigoro, dengan gong kuno bernama Kyahi Surak. Pada hari biasa bangsal ini dipakai untuk duduk para pegawai dan abdi dalem Gandhek tengen dan Sorogeni.
- Bale Gandhekan Tengen dipakai untuk menempatkan gamelan yang memainkan komposisi Kodok ngorek untuk mengiringi jalannya prosesi Garebek dengan gong Kyahi Sekar Delimo.
- Bangsal Balebang yang dipakai untuk menyimpan pusaka-pusaka berupa gamelan diantaranya Gamelan Patalon Singokrungu (gamelan Setu), Munggang, Gamelan Kodok Ngorek Kyahi Panji, Gamelan Corobalen Kyai Rendang (Prajutit Baki), Gamelan Gento (dapat memainkan komposisi gamelan jawa maupun orkestra eropa), Kyai Sukasih, Kyai Pamesih dan Gamelan Santiswara.
- Bangsal Gandhekan Kiwo, berfungsi sama dengan Bangsal Gandhekan Tengen.
Di komplek Siti Hinggil dan sekitarnya akan kita temui beberapa meriam pusaka yang masing-masing ada namanya, yaitu :
- Kyai Poncoworo, pernah dipakai oleh Sinuhun Mangkurat Agung, dibuat pada tahun 1645 M.
- Kyai Santri, dibuat pada tahun 1650 M.
- Kyai Syuhbrasto dan Kyai Segorowono, kedua meriam ini bermakna kesedihan Pakubuwono VII karena kehilangan kekuasaan atas laut dan hutan
- Kyai Brinsing dari Siam (sekarang Thailand).
- Kyai Bagus dan Kyai Alus dari Jenderal Van der Leen.
- Kyai Nakulo dan Kyai Sadewo, pemberian V.O.C
- Kyai Kumborowo, Kyai Kumborawi dan Kyai Kadalbuntung dari Zaman Mataram.

KORI BROJONOLO LOR

Keluar dari Siti Hinggil ke arah selatan kita melewati dua pintu lagi yang dinamakan Kori Renteng dan Kori Mangu (renteng = pertentangan dalam hati, mangu = ragu-ragu).
Seterusnya kita menemui pintu raksasa dari kayu yang dinamakan Kori Brodjonolo Lor. Kata Brodjonolo mengandung arti yaitu brodjo artinya gaman (senjata) yang sangat tajam, sedangkan nolo artinya pikir. Jadi arti yang terkandung di dalamnya, kalau kita mau melewati pintu ini kita diminta agar segala sesuatu harus kita pikirkan dalam-dalam dulu, dengan kata lain kita diminta selalu waspada. Pintu ini dibangun waktu Sinuhun Pakubuwono ke-II pada tahun 1694 H(1757 M).

Di atas pintu kori diberi tanda sengkalan memet berupa kulit sapi persegi: “Lulang sapi siji = wolu ilang sapi siji” (1708 atau 1782 M), yaitu jaman Pakubuwono III. Di kiri kanan pintu, baik yang disebelah luar maupun yang disebelah dalam ada bangsal-bangsal kecil. Di sebelah luar pintu ada bangsal Pacaosan Abdi Dalem Brajanala Kiwa dan Tengen. Di sebelah dalam pintu ada bangsal Pacaosan Abdi Dalem Wisamarta Kiwa dan Tengen (wiso = bisa , marto = penawar). Bangsal-bangsal ini dipergunakan untuk para abdi dalem yang sedang bertugas jaga. Di atas pintu Brodjonolo di sebelah timur ada lonceng besar yang biasa disebut Jam Panggung, lonceng itu sampai sekarang masih dibunyikan

KORI KAMANDUNGAN

Melalui pintu masuk Brodjonolo ini kita sampai di pelataran yang dinamakan Pelataran Kamandungan, disebelah kiri dan kanan pelataran ada dua brak. Brak di sebelah timur dipergunakan untuk prajurit-prajurit n’jobo (luar) sebagai penjaga bagian luar keraton dan brak di sebelah barat dipergunakan untuk prajurit-prajurit Belanda.

Bangunan yang paling menonjol di Pelataran Kamandungan adalah Baleroto, suatu teras terbuka yang dihiasi dengan ukiran besar berwarna biru dan putih sebagai tempat tunggu tamu yang akan menghadap Sunan. Di depan Baleroto terdapat 2 patung raksasa Cingkorobolo dan Boloupoto. Di sebelah kiri dan kanan Baleroto ada los-los, untuk tempat parkir kereta-kereta dan kendaraan-kendaraan yang akan dipakai oleh Sinuhun Pakubuwono.

Begitu masuk pintu Kamandungan kita akan berhadapan dengan kaca pengilon besar (cermin) siapa saja yang melalui kaca itu pasti akan berhenti sejenak, untuk memeriksa dirinya, apakah segala sesuatu yang dipakai sudah pantas mengingat kita akan memasuki keraton, tempat tinggal seorang raja. Arti yang terkandung didalamnya ialah kita diminta selalu mawas diri. Memang segala sesuatu yang kita jumpai di keraton mengandung kiasan sendiri, mengandung piwulang.


KORI SRIMANGANTI
Di belakang kori Kamandungan kembali akan kita jumpai suatu pelataran yang disebut Sri Manganti. Di kanan kiri Sri Manganti ada 2 bangunan bangsal. Bangsal di sebelah timur dinamakan Bangsal Mercukondo, bangsal ini dipergunakan untuk:

- Tempat prajurit-prajurit n’jero (dalam) yang bertugas jaga di dalam keraton.
- Pisowanan (sowan = menghadap).
- Pelantikan opsir-opsir yang naik pangkat.

Di belakang bangsal ini ada sebuah penjara kecil yang disebut Panti Pidono, yang dipergunakan untuk mengadili kerabat keraton yang bersalah dan perlu dihukum. Untuk tindak pidana demikian, bagi para kerabatnya keraton memiliki perangkat peradilan tersendiri.

Adapun bangsal yang terletak disebelah barat Sri Manganti dinamakan Bangsal Smorokoto atau Bangsal Marokoto, bangsal ini dipergunakan sebagai tempat tunggu bagi para abdi dalem yang berpangkat Bupati keatas pada waktu ada pisowanan. Bangsal-bangsal ini dibuat oleh Sinuhun Pakubuwono ke-III dan diselesaikan oleh Sinuhun Pakubuwono ke-IV, yaitu pada hari Senin 13 Rabihulakir 1714 Jawi atau 4 April 1814 M.

Untuk memasuki pelataran keraton kita melewati lagi sebuah pintu yang dinamakan Kori Sri Manganti Lor yang dibuat oleh Sinuhun Pakubuwono ke-III pada tahun 1685 Jawi (1758 M).

Didepan Kori Sri Manganti akan dijumpai lagi kaca pengilon besar, tujuan pemasangannya sama dengan pemasangan kaca pengilon di depan pintu Kamandungan, yaitu agar kita selalu mawas diri dan introspeksi.

Setelah melewati kori Sri Manganti, kita akan sampai di pelataran dalam keraton.


PANGGUNG SONGGOBUWONO
Di pelataran keraton sebelah timur kori Sri Manganti ada sebuah panggung yang dinamakan Panggung Songgobuwono. Di puncak panggung ada sebuah ukiran berupa orang yang sedang naik ular bersayap. Dalam bahasa Jawa gambar itu berbunyi sengkalan “Nogo muluk titihan Janmo“. Baik kata-kata panggung Songgobuwono maupun nogo muluk titihan janmo kalau ditulis dalam aksara jawa akan menunjukkan angka 1198, yang merupakan tahun dibangunnya Panggung Songgobuwono. Harmonisasi kori Sri Manganti dan Panggung Songgobuwono adalah lambang dari lingga dan yoni.

Panggung Songgobuwono adalah alat pelengkap suatu benteng. Dari tingkat paling atas dapat dilihat jalan masuk ke keraton dan bagian dalam benteng Belanda yang ada di sebelah utara Gladak. Serta lalu lintas keluar masuk alun-alun, sampai pada awal abad 20 masih dipergunakan untuk melihat siapa yang memasuki alun-alun. Apabila itu orang asing, Belanda atau Cina maka dibunyikan selompret oleh para penjaga yang ada di Panggung Songgobuwono sebagai tanda bahaya. Mendengar selompret ini para penjaga yang ada di pagelaran memeriksa dan kalau perlu menolak orang-orang asing yang hendak memasuki alun-alun.Pada dalam masa aman sekarang, selompret masih dibunyikan apabila ada tamu-tamu asing yang datang atas undangan Sinuhun untuk menghadiri upacara-upacara yang diselenggarakan di dalam keraton.

Mendengar bunyi selompret para pangeran yang tadinya duduk menunggu di Serambi Untorosono, akan bersiap menjemput para tamu di halaman Sri Manganti. Pada masa keadaan belum aman pada abad ke-18 dan 19 selompret dibunyikan sebagai komando pasukan berkuda, yang selalu siap di halaman Kamandungan, untuk menyerbu jika seandainya ada musuh yang sudah berhasil memasuki alun-alun atau melalui jalan supit-urang yang ada di kiri kanan Siti Hinggil.

SASONO SEWOKO

Di pelataran dalam akan kita jumpai sebuah pendopo besar yang dinamakan Pendopo Ageng Sasonosewoko.

Di bagian tengah pendopo terdapat lampu gantung yang besar yang disebut Robyong Kyahi Remeng. Pendopo Sasonosewoko yang menghadap ke timur, dibuat oleh Sinuhun Pakubuwono ke III pada tahun 1697 Jawi. Sasono berarti papan (tempat) sewoko berarti duduk bersila dilantai, sambil mengheningkan cipta memusatkan segala pikiran kepada Sang Pencipta Alam. Pendopo ini berbentuk joglo mempunyai 36 Cagak (tiang) dan 4 soko guru.

Di sekeliling Pendopo Ageng Sasonosewoko ada emperan yang dinamakan Paningrat, terdiri dari Paningrat barat, Paningrat timur, Paningrat Utara dan Paningrat selatan.

Di depan pendopo ada bangunan kecil yang dinamakan Maligi atau Pendopo Kuncung, yang dipergunakan sebagai tempat duduk bagi para bupati yang akan menghadap Sinuhun dan tempat mengkhitan putera Sunan dari permaisuri. Didirikan pada Jumat 19 Rabi’ulakir 1811 (10 Maret 1882).

Dibagian belakang Pendopo Ageng Sasonosewoko terdapat Paringitan yang disebut Sasono Parasdyo, tempat dimana sinuhun mengambil keputusan-keputusan penting. Nama Pendopo Paringgitan juga menunjukkan suatu tempat dimana sering diadakan peragaan wayang kulit.
Di dalam kedhaton melalui pintu lipat gebyok dari paringitan, kita memasuki Dalem Ageng Probosuyoso/ Proboyekso. Di tengah-tengah dalem ini ada patanen atau krobongan yang dipergunakan untuk upacara “Penganten Bersanding“ dan pusaka-pusaka utama keraton, bangunan Proboyekso ini menghadap ke selatan. Dalem Ageng hanya dibuka setahun sekali pada peringatan tahun baru jawa yang biasa disebut Malem 1 Suro.

SASONO HONDROWINO

Di sebelah kanan pendopo Sasonosewoko terdapat bangunan yang semua dindingnya terbuat dari kaca, yang dinamakan Sasono Hondrowino. Tempat ini dipakai untuk menjamu tamu, yaitu tamu asing atau tamu agung dengan acara makan bersama. Dulu dinamakan Pendopo Ijo (hijau) karena seluruhnya ruangannya bercat hijau. Hondrowino dibangun oleh Sinuhun Pakubuwono ke-V pada tahun 1750 Jawi (1823 M).

Masih ada beberapa bangunan lain di sekitar Pendopo Ageng Sasonosewoko,yaitu:
- Gedung di sebelah selatan Parasedyo adalah kantor Sunan, bernama Sasono Prabu.
- Sasono Wilopo untuk kantor Panitro dalem (pengadilan keraton).
- Nguntorosono untuk para putro dan sentono dalem jika akan sowan Sinuhun. Di sebelah timur halaman ada 3 bangsal, membujur dari utara ke selatan yaitu:
- Bangsal Bujana, tempat menjamu pengikut tamu agung
- Bangsal Pradonggo, tempat memukul gamelan
- Bangsal Musik, untuk musik atau orkes.
- Gedung-gedung di halaman sebelah utara dan selatan adalah kantor pemerintahan Keraton.
- Di sebelah timur pelataran kedhaton ada sebuah ruangan yang diberi nama Kadhipaten yang dulu merupakan tempat tinggal putera mahkota dan ada gedung Museum.
- Kori Wiwaraprya, terletak di sebelah utara menghadap ke timur menghubungkan ke area yang dikhususkan untuk pria.
- Mondrosono, Balekerto atau koken untuk menyimpan perkakas dan barang-barang belanjaan untuk masak-memasak.

PENDOPO MAGANGAN

Setelah memasuki seluruh area kedaton, sebelum sampai di Sri Manganti kidul kita akan jumpai suatu tempat perkantoran, yaitu kantor “Pengageng Parentah Keraton” (kepala pemerintahan keraton) dan Sasono Pustoko, yaitu sebuah tempat untuk menyimpan arsip-arsip dan buku-buku keraton.

Lewat Sri Manganti kidul kita akan jumpai Pendopo Kemagangan. Disinilah tempat para calon prajurit berlatih. Di sekeliling halaman ini ada bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan prajurit, seperti keris, pedang, bedil, pistol dan pakaian seragam prajurit untuk hari-hari besar keraton. Di tengah-tengah Magangan ada tempat untuk menyimpan meriam yang dibunyikan pada setiap lebaran. Di tengah-tengah Pendopo Magangan ada bangsal untuk pisowanan Abdi Dalem wanita (keputren).

KORI GADUNGMLATI, KAMANDUNGAN DAN BROJONOLO KIDUL

Keluar dari area Magangan, melalui pintu Kori Gadung Mlathi/ Saleko/ Sembagi kita akan menjumpai pelataran Kamandungan Kidul. Kata Gadungmlati (putih dan hijau) bermakna simbolis hubungan kraton dengan ratu penguasa laut selatan. Saleko bermakna persatuan dengan Sang Hyang Tunggal. Sedangkan kata Sembagi bermakna bersatunya semua warna menjadi warna putih.

Di sebelah selatan kori Gadung Mlathi dapat dijumpai lagi Kori Kamandungan Kidul, pintu masuk kraton dari arah selatan yang dihiasi dengan hiasan dekoratif sarat makna, salah satunya rangkaian melati yang bermakna kesucian. Disekitar pintu ini akan dijumpai lagi pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum.

Melewati Kori Kamandungan Kidul akan dapat dijumpai Kori Brajanala kidul. Di sebelah kiri dan kanan Kori Brajanala kidul terdapat bangsal Nyutra dan bangsal Mangundara. Kemudian ada lagi Supit Urang wetan dan Supit Urang kulon yang di tengah-tengahnya terdapat lagi Siti Hinggil (kidul). Dan akhirnya kita sampai di alun-alun kidul dan terus ke selatankeluar area kraton dari Gapura Gading.

SITIHINGGIL KIDUL

Kori Brojonolo Kidul memberikan akses ke Sitihinggil Kidul. Sitihinggil Kidul adalah suatu komplek bangunan pendopo terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek, didirikan 2 Rabiulakir Wawu 1721, pada jaman dahulu terdapat 4 meriam, 2 diantaranya kemudian diambil pemerintah untuk diletakkan di AMN Magelang. Berbeda dengan komplek Sitihinggil Lor yang megah, komplek Sitihingil Kidul dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan kraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.

Kebalikan utara dan selatan bangunan di kraton berkaitan dengan filosofi jawa 'Donya Sungsang Walik'. Bangunan-bangunan di utara kraton yang megah melambangkan nafsu dan keinginan duniawi yang ada di dalam diri manusia, sementara kesederhanaan di bagian selatan melambangkan dalam perjalanan persatuan dengan Tuhan, manusia harus meninggalkan benda-benda dan keinginan duniawi. Dalam tahap spiritual ini manusia harus fokus dan berorientasi kepada Tuhan, Sang Hyang Tunggal. Di tengah-tengah Pendopo Magangan ada bangsal untuk pisowanan Abdi Dalem wanita (keputren).

ALUN-ALUN KIDUL

Disebelah selatan Sitihinggil Kidul dapat dijumpai Alun-Alun Kidul, alun-alun ini bersifat lebih pribadi dibandingkan Alun-alun Lor. Alun-Alun Kidul dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan disekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga wong cilik yang mencari nafkah di area tersebut.

Tembok yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengan ujung selatan yang bernama Gapura Gading. Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya Gapura Gladak.

Pada tahun 1932, Sunan Pakubuwono X, menambahkan pintu gerbang di sebelah selatan Gapura Gading, dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk Alun-Alun Kidul dari arah barat dan timur. Ketiga gerbang di Alun-Alun Kidul ini dikenal dengan sebutan Tri Gapurendro, gapura terakhir yang ditambahkan oleh Sunan Pakubuwono X inilah yang saat ini dikenal masyarakat sebagai Gapura Gading.

MUSEUM KRATON KASUNANAN SURAKARTA

Keraton Surakarta Hadiningrat mempunyai benda-benda budaya yang tersimpan di Museum Keraton. Pintu masuk ke museum Keraton Surakarta Hadiningrat terletak di sebelah timur dari Kori Kamandungan, tepatnya di samping Gedung Sidikara.

Museum Keraton terdiri dari dua bangunan pokok, yaitu bangunan sebelah barat dan bangunan sebelah timur. Dulunya bangunan-bangunan ini merupakan kompleks perkantoran di jaman Susuhunan Pakubuwono X. Tiap-tiap bangunan sudah di atur ruang-ruangnya yang memuat hasil kriya Keraton Surakarta.

Pembagian ruang di museum Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah sebagai berikut :

RUANG I : BERISI GAMBAR DAN UKIRAN SEBAGAI BERIKUT :
- Gambar SISKS Paku Buwana VII (1830-1858), Paku Buwana VII (1858-1861), Paku Buwana X dalam sebuah pigura yang besar.
- Gambar SISKS Paku Buwana X berdiri dengan mengenakan busana kebesaran.
- Dua buah gambar Kangjeng Ratu Hemas, permaisuri Paku Buwana X.
- Beberapa kursi ukiran dari jaman SISKS Paku Buwana IV (1788-1920).
- Dua buah kursi ukiran dari Giayar (Bali) yang dipersembahkan kepada SISKS Paku Buwana X.
- Sebuah kursi ukir-ukiran tempat duduk SISKS Paku Buwana X.

RUANG II : BERISI BENDA-BENDA PERUNGGU DAN BATIK
Dalam almari-almari kaca dipajang bermacam-macam benda dan arca perunggu antara lain arca Budha Avalokiteswara, dan alat-alat upacara agama. Di dalam ruang ini juga terdapat arca Bali dari Jaman purbakala, yaitu arca Dewa Kuwera, arca Dewi Durga, arca Dewi Tara, dan arca Dewa Siwa Mahaguru.

RUANG III : BERISI ADEGAN PENGANTIN JAWA DAN PERLENGKAPANNYA, YAITU :
- Patung kuda dari kayu lengkap dengan pakaiannya, untuk dinaiki pengantin pria kerajaan.
- Dua buah joli berukiran.
- Sebuah joli besar berisi sebuah peti, keduanya berukiran dibuat pada jaman SISKS Paku Buwana X.
- Peragaan dengan patung yaitu adegan pengantin perempuan dan laki-laki duduk bersila di Krobongan diapit dua patah.
- Relief pada dinding yang melukiskan adegan sebagai berikut :
- Keberangkatan calon pengantin kerajaan laki-laki dan perempuan dari Karaton Kepatihan.
- Calon pengantin puteri duduk dalam joli, calon pengantin laki-laki naik kuda membawa tombak diiringi pengawal.
- Pengantin menjalankan ijab-nikah.
- Pengantin menjalankan tatacara panggih

RUANG IV : BERISI ADEGAN KESENIAN RAKYAT
- Adegan pagelaran wayang kulit purwa mencakup kelir, wayang dan dalang.
- Wayang beber dengan perlengkapan : dhalang, niyaga dan gamelan.
- Dinding sebelah timur terdapat relief :
- Klenengan
- Pertunjukan wayang kulit
- Pertunjukan pada acara perkawinan, supitan, ruwat dan bersih desa.
- Dinding sebelah barat dalam almari kaca terdapat adegan-adegan:
- wayang kulit purwa
- wayang kulit gedhog
- wayang kulit madya
- wayang golek dari kayu berbentuk manusia
- wayang klitik seperti wayang kulit tetapi dibuat dari kayu

RUANG V : BERISI TOPENG DAN BEBERAPA RELIEF
Dalam ruang ini dipajang bermacam-macam topeng yang khusus digunakan untuk kelengkapan tari topeng, yang ceritanya mengambil dari cerita Panji Inukertapati, Panji Asmarabangun, Dewi Galuh Ajeng, Dewi Galuh Candrakirana, Klana dan sebagainya. Pada dinding sebelah timur terdapat relief sebagai berikut :
- Pertunjukan jaran kepang/kuda lumping
- Pertunjukan tarian ledek : seorang wanita menari diiringi gamelan
- Pertunjukan Lawung : dua orang naik kuda membawa sodok bertarung dan diiringi gamelan
- Pande keris
- Upacara selamatan : beberapa orang berdoa memohon selamat dalam tatacara Islam

UANG VI : BERISI ALAT UPACARA
- Bokor, kendhi, beri, kecohan, sumbul
- Perhiasan
- Payung bersusun tiga untuk upacara kitanan SISKS Paku Buwana IV

RUANG VII BERISI KERETA DAN JOLI KERAJAAN, DIANTARANYA :
- Kereta Kyai Garudha. Dari Jaman SISKS Paku Buwana II di Kartasura, persembahan VOC.
- Kereta Kyai Rajapeni.
- Kereta terbuka, dipergunakan oleh Raja berkeliling kota, dan diperkirakan dari jaman SISKS Paku Buwana X.
- Kereta Kyai Garudhaputra.
- Kereta kerajaan dipakai pada jaman SISKS Paku Buwana VII sampai Paku Buwana X untuk menjemput tamu agung.
- Disebelah selatan dalam almari kaca terdapat pakaian kusir, dan pakaian kuda.
- Joli : tempat mengusung puteri Raja atau penari Srimpi.

RUANG VIII : PERANG DIPONEGORO
- Relief pertemuan antara SISKS Paku Buwana VI (1823-1830) dengan Pangeran Diponegoro. Keduanya dilukiskan sedang naik kuda dan masing-masing dengan pengawal.
- Relief pengadilan pada jaman kuno (Pepe)
- Pada dinding sebelah selatan dipajang senjata kuno antara lain : bedil, pistol, pedang, tameng, keris, panah, dan pelana kuda.
- Pada dinding sebelah utara ada diorama yang menggambarkan perang Pangeran Diponegoro di Gua Selarong. Dalam diorama tadi tampak : Pangeran Diponegoro naik kuda putih, Kyai Maja, dan Sentot Prawiradirdja.
RUANG IX : TEMPAT KYAI RAJAMALA DAN LAIN-LAIN
- Patung kayu Rajamala merupakan patung kepala raksasa untuk hiasan perahu pada jaman SISKS Paku Buwana IV
- Maket rumah Jawa : gaya Joglo, Limasan dan gaya kampung
- Patung-patung kecil dari tanah liat yang menggambarkan aneka warna pakaianabdi dalem dan prajurit Keraton.
- Alat permainan rakyat : dakon, adu jangkrik, adu keci, dan adu kemiri
- Alat untuk menyimpan nasi : Kenceng besar untuk keperluan perang
- Alat-alat dapur
- Keramik dan porselin Kuno yang dahulu menjadi perlengkapan rumah tangga.
sumber :primbondonit
< >
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment

Get Update Article on FacebookX

Find Us on Facebook

Get Update Article on Google+X

Follow Us on Google+